Setelah hampir delapan tahun menundanya, setelah berkutat selama satu setengah bulan, akhirnya selesai sudah. Telah kubaca Tetralogi Pulau Buru, masterpiece Pramudya Ananta Toer yang legendaris. Tidak ada kata terlambat untuk membaca roman sejarah yang akan jadi karya abadi.

Delapan tahun yg lalu, sebenarnya aku pernah menemukan Bumi Manusia, bagian pertama tetralogi, teronggok di deretan buku-buku sastra di sebuah perpustakaan. Tapi entah mengapa, aku tak pernah meminjamnya. Dan satu setengah bulan yang lalu, ketika aku melihat keempat seri novel itu di perpustakaan kantor, tanpa pikir panjang kuputuskan aku akan membaca habis keempat buku itu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Buku-buku itu menggenggamku, menenggelamkanku ke dalam masa kolonial di awal abad 20. Membaca buku-buku itu adalah pengalaman yang menggelisahkan, tentu saja karena perasaan yg teraduk-aduk dan keinginan untuk terus-menerus membaca buku itu, tanpa henti, karena rasa penasaran akan kelanjutan cerita, karena diri telah tenggelam dalam diri si aku-narator.

Narasi orang pertama dengan Minke sebagai si aku dalam Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah, melarutkan diriku ke dalam kegelisahan jiwa Minke yang terus bergejolak ingin berontak. Pada akhirnya, muncul kesadaran Minke dalam diriku, kesadaran bahwa jaman sesungguhnya belum banyak berubah, keadaan di awal abad 21 ini tidaklah sebaik keadaan di awal abad 20. Masih banyak yang bisa diperjuangkan, masih banyak yg harus dilawan. Kemanusiaan masih harus terus diperjuangkan, kebodohan dan kerendahan moralitas masih harus terus dilawan.

Aku berpikir, jika aku membaca buku-buku itu beberapa tahun yang lalu, mungkin aku tidak berada di sini sekarang ini, mungkin aku telah memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lain, menjadi manusia bebas seperti Minke, yang bebas bergerak dan bertindak, demi alasan humanisme.

Buku keempat, Rumah Kaca, cukup mengejutkan. Si aku sebagai narator dalam buku keempat adalah Pangemanann, seorang pegawai pemerintah Gubermen, pengagum Minke yg sekaligus juga menangkap dan membuang Minke. Membaca Rumah Kaca, diriku terlarut dalam kegelisahan Pangemanann, pegawai pemerintah yg begitu loyal pada pemerintah kolonial, meskipun hatinya sangat mengagumi perjuangan Minke. Tampaknya, Pramudya sebagai seorang humanis tidak ingin menjadikan manusia sebagai antagonis dalam Tetraloginya. Antagonis dalam tetralogi itu adalah sistem, sistem yang merenggut kebebasan manusia, dan memaksa manusia bersaing satu sama lain hanya untuk hidup. Sistem itu dihidupi oleh sebuah ideologi yang tak lekang oleh waktu, yg terus bermetamorfosa dalam berbagai bentuk, seperti virus yg resisten terhadap berbagai perubahan iklim. Dan sistem yang membenarkan manusia untuk saling menjatuhkan itu sekarang mungkin kita kenal dengan nama ‘politik’. Dan ideologi itu sudah lama dikenal sebagai ‘kapitalisme’.

Pesan moralnya adalah, membaca tetralogi ini membentuk kesadaranku, agar memiliki jiwa perlawanan Minke, agar tidak seperti Pangemanann yg terjerumus dalam lembah gelap sistem.

Semoga karya Mbah Pram ini bisa menjadi Jejak Langkah yang tertinggal bagi Anak Semua Bangsa agar di Bumi Manusia ini tidak pernah ada lagi ‘Rumah Kaca’.