woman-man relationship

ROMEO. Let me be ta’en, let me be put to death.
I am content, so thou wilt have it so.
I’ll say yon grey is not the morning’s eye,
‘Tis but the pale reflex of Cynthia’s brow;
Nor that is not the lark whose notes do beat
The vaulty heaven so high above our heads.
I have more care to stay than will to go.
Come, death, and welcome! Juliet wills it so.
How is’t, my soul? Let’s talk; it is not day.

JULIET. It is, it is! Hie hence, be gone, away!
It is the lark that sings so out of tune,
Straining harsh discords and unpleasing sharps.
Some say the lark makes sweet division;
This doth not so, for she divideth us.
Some say the lark and loathed toad chang’d eyes;
O, now I would they had chang’d voices too,
Since arm from arm that voice doth us affray,
Hunting thee hence with hunt’s-up to the day!
O, now be gone! More light and light it grows.

………. (Romeo and Juliet, W. Shakespeare-1595)

Drama Romeo and Juliet berkisah tentang cinta sehidup semati dua anak manusia. William Shakespeare menuliskannya pada abad 16. Pada kisaran abad itu, di tanah Jawa muncul kisah yg serupa, Roro Mendut dan Pronocitro. Di daratan Cina juga ada legenda tragedi cinta, Sampek dan Engtay. Kisah-kisah itu mirip tapi terjadi di belahan dunia yg berbeda, ini menunjukkan adanya spirit of the age atau semangat jaman pada masa itu.

Cinta pada masa itu dimaknai sebagai sesuatu yg sakral, yg pantas dipertahankan meskipun mengorbankan nyawa. Cinta seperti itu mungkin mendekati cinta ideal dalam teori Plato, yaitu cinta yg abadi, yg berlandaskan “goodness and beauty”. Cinta yg berasal dari ketulusan hati, yg menjadikan sepasang manusia sebagai satu kesatuan yg tak terpisahkan. Cinta dalam kisah Romeo-Juliet, Roromendut-Pronocitro, dan Sampek-Engtay, bermakna sangat dalam, hingga mereka lebih memilih cinta mereka abadi dalam kematian daripada harus terpisah.

Kisah-kisah cinta yg mengharu-biru seperti itu kini tampaknya tidak lagi menjadi inspirasi bagi manusia. Manusia sekarang lebih suka segala kepraktisan dalam hidup, lebih suka “menjalani” cinta daripada “memaknai”nya. Yang disebut cinta pada saat ini adalah sesuatu yang dengan mudah datang dan hilang, tak lagi suci dan abadi hingga layak dipertahankan hingga mati.

Semangat jaman sekarang bermuara pada televisi. Segala yg tersaji di televisi dengan mudah ditelan mentah-mentah oleh pemirsanya, dan menjadi bagian dari hidup mereka. Dan tidak ada kisah cinta seperti Romeo-Juliet di televisi (kecuali tentu sinetron/film yg terinspirasi karya drama itu, dan yg pasti telah disesuaikan ceritanya untuk konsumsi masa kini).

Televisi terkadang berusaha menampilkan realitas, seperti tertayang dalam apa yg disebut reality show. Tetapi, tv tidak akan membiarkan realitas tampil apa adanya. Realitas di tv adalah realitas instan, yg disajikan dengan mudah dan cepat, dan yg penting kemasannya menarik. Maka reality show yg bertebaran di berbagai stasiun tv, yg sebagian besar bertema cinta, lebih pantas disebut hiperreality show, karena tampil berlebihan. Realitas yg hendak disajikan telah melampaui realitas sesungguhnya, terkadang hanya menampilkan realitas yg diada-adakan.

Menurut Sartre, seorang filsuf abad 20, cinta hanyalah hubungan subjek-objek. Seseorang mencintai orang lain hanya agar dirinya diakui sebagai sang pencinta. Orang lain dianggap sebagai objek, hanya untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia modern menginginkan pasangannya melakukan apa yg dikehendakinya, dan jika pasangannya tidak lagi memberikan apa yg dibutuhkannya dengan mudah ia meninggalkannya.

Sementara itu, pemenuhan kebutuhan manusia masa kini erat kaitannya dengan konsumsi. Maka percintaan manusia postmodern adalah cinta yang berbalut konsumerisme, hedonisme, dan gaya hidup. Ketika produksi sudah berjalan dengan baik, maka para kapitalis kini berupaya bagaimana masyarakat dapat mengkonsumsi sebanyak-banyaknya. Tiba-tiba saja dari segala lini masyarakat diharapkan (dipaksa) mengonsumsi apa saja. Tidak penting apakah yg dikonsumsi tersebut penting, bermanfaat, atau menjadikan manusia semakin berkualitas hidupnya. Maka, tidak perlu membuat film bagus, jika film murahan saja mampu menjaring jutaan pasangan yg sedang dilanda cinta. Tak perlu dipikirkan restoran itu menyajikan makanan yg enak, bergizi, beracun atau tidak. Yang penting, tempatnya asyik untuk duduk berlama-lama, apalagi jika berduaan.

Cinta, sebagai satu sisi dari kemanusiaan kita, tak luput dari sasaran konsumerisme. Entah kenapa, semakin banyak iklan di televisi yg bertema cinta. Misalnya, iklan produk kosmetik yg menyiratkan bahwa seorang wanita harus memakai produk X ini jika ingin tampil lebih cantik dan putih sehingga bisa berhasil dalam percintaan. Iklan produk untuk kaum lelaki juga sama saja, menyiratkan bahwa dengan memakai produk tertentu, maka para pria akan dilirik banyak wanita.

Gaya hidup seperti ini perlahan-lahan menjatuhkan manusia dalam hedonisme. Semua dilakukan hanya untuk memenuhi kesenangan semata. Hidup hanya untuk memuaskan nafsu duniawi. Seseorang menjalin hubungan dengan orang lain hanya unuk kesenangan dan kenikmatan yg bersifat seksual.

Sesungguhnya, manusia di era postmodern telah menjadi objek. Manusia dipaksa mengkonsumsi demi memenuhi kebutuhan para kapitalis. Dan cinta, yg sejatinya adalah fitrah manusia, telah dikomodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi alat yg pas untuk menjaring konsumen. Maka, tak hanya iklan kosmetik yg mendorong orang mengkonsumsi hanya dengan tujuan untuk mendapatkan cinta yg diinginkannya; bahkan iklan eskrim dan permen pun menjadikan cinta sebagai komoditas.

Dengan menjadi objek, manusia postmodern telah kehilangan kemanusiaannya. Pola konsumsi menjadikan keunikan individu tidak lagi dihargai. Untuk dapat diakui atau memiliki eksistensi, manusia harus rela diobjekkan. Menjadi objek berarti memiliki tubuh seragam: seorang perempuan haruslah langsing, berkulit putih, berambut lurus panjang, berpakaian trendy (kakak perempuan saya menyebut tipe cewek seperti ini ordinary girls :p). Seorang lelaki harus bertubuh atletis, smart, berpenampilan layaknya eksekutif muda. Tapi tampaknya yg lebih menjadi objek tentu saja perempuan, karena laki-laki cenderung bersikap masabodoh. Perempuan lebih cenderung ingin tampil sesuai dengan yg diharapkan. Dan dalam hubungan pria-wanita, sang wanita yg lebih banyak dituntut untuk melakukan ini-itu sesuai kehendak sang pria.

Lalu, bagaimanakan hubungan yg ideal itu? Hubungan yg ideal, menurut Martin Buber, tidaklah berdasarkan hubungan subjek-objek (I-It), melainkan hubungan aku-engkau (I-Thou). Hubungan ideal ini berarti tidak memperlakukan orang lain sebagai objek, tetapi sebagai orang yg sejajar, bersifat timbal balik, aktual, dan dinamis, serta menghargai setiap individu. Dengan begitu, hubungan antarmanusia tidak hanya sebatas saling mengobjekkan demi memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi menjadi hubungan mutualisme yg meningkatkan kualitas kehidupan manusia.

Cinta berkaitan erat dengan eksistensi manusia. Reproduksi, yg menjamin kelangsungan keberadaan manusia, juga berawal dari cinta. Nah, sekarang, kembali pada diri masing-masing individu, bagaimana menjaga eksistensinya. Mau menjalin hubungan subjek-objek, atau hubungan ideal. Memilih hubungan subjek-objek, dengan penuh kesadaran, berarti membunuh kemanusiaan kita dan membiarkan diri kita hidup dalam dunia tubuh dan hawa nafsu. Dan bersiaplah mengatakan dengan lantang: “Aku belanja maka aku ada!!”. Memilih hubungan ideal, berarti menantang dan menentang jaman, mengorbankan egoisme, hawa nafsu dan hasrat tubuh. Bahkan harus rela mengorbankan nyawa demi cinta seperti Romeo dan Juliet. 😛

Apapun itu, kedua pilihan itu tetap beresiko. Cinta tetaplah membawa penderitaan bagi manusia, seperti kata Romeo, gelap atau terang, itulah kesengsaraan kita….

ROMEO. More light and light- more dark and dark our woes!