Sudah lama sekali saya tidak membaca artikel kajian budaya, dan selama itulah saya jarang sekali menulis. Kesempatan langka sekali ketika saya bisa meluangkan waktu membaca buku Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif terbitan Jalasutra. Ada satu artikel menarik karya Yasraf Amir Piliang berjudul Antara Minimalisme dan Pluralisme: Manusia Indonesia dalam Serangan Posmodernisme, yang akan saya ringkaskan di sini.

Bagian yang paling menarik dari artikel itu adalah mengenai pembagian manusia posmodern, yaitu sebagai manusia minimalis dan manusia pluralis.

Manusia minimalis adalah manusia dalam kondisi diri minimal, terjerat dalam minimalisme perspektif dan visi. Manusia minimalis mempunyai dorongan yang kuat untuk tetap survive dan eksis dalam kehidupan dengan mendapatkan kedudukan, status, dan pengakuan sosial, meskipun mengetahui kondisi diri dan lingkungannya tidak mendukung. Ciri-ciri manusia posmodern minimalis adalah:

1. Manusia Ironis

Pada dasarnya, manusia ironis ini tidak memiliki batas benar-salah atau baik-buruk. Manusia ironi cenderung untuk inkosisten, berlebihan, anomali, janggal, di luar batas, kontradiktif, dan abnormal. Demi hasrat untuk tetap survive dan eksis, manusia ironi akan meninggalkan rasionalitas dan menggantinya dengan berbagai ilusi, pretensi, kebohongan, dan mitos-mitos dirinya.

2. Manusia Skizofrenik

Manusia skizofrenik cenderung tanpa ego. Para skizofrenik akan membebaskan diri dari berbagai aturan keluarga, masyarakat, negara, bahkan agama dalam rangka melepaskan semua dorongan hasrat purba dalam diri manusia. Manusia skizofrenik hidup di dalam medan kehidupan sosial yang di dalamnya seseorang tidak pernah berhenti pada kedudukan (sosial, spiritual, politik) yang tetap dan konsisten. Manusia skizofrenik menerima segala kontradiksi diri dengan melakukan berbagai hal yang bertentangan secara logika, prinsipil, formal, dan ideologis.

3. Manusia Fatalis

Manusia fatalis tidak berdaya dalam kekuasaan objek, terserap dalam logika objek (logika TV, gaya hidup) dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Manusia fatalis adalah manusia layar, yang sebagian besar ruang-waktunya dihabiskan di depan layar (TV, komputer, HP, ATM), dan terserap dalam logika layar, sehingga tidak bisa membedakan antara dunia layar dengan realitas.

Di sisi lain, ada manusia pluralis, yang berusaha melakukan revisi atau rekonstruksi terhadap konsep dirinya sebagai subjek, dengan membangun kehidupan yang dialogis, komunikatif, toleran, dan intersubjektif. Ciri-ciri manusia pluralis adalah:

1. Manusia Dialogis

Manusia dialogis memandang orang lain sebagai partner dialog, mengutamakan pemahaman atas orang lain, untuk memahami dan membangun dirinya sendiri. Manusia dialogis terlibat aktif dalam proses pertukaran sosial, menghargai keanekaragaman dan pluralitas. Bentuk penghargaan terhadap keanekaragaman diwujudkan dalam komunikasi dan dialog intensif, sehingga tumbuh sikap perlunya memecahkan persoalan bersama.

2. Manusia Aktivis

Manusia aktivis berupaya membentuk dunia sosialnya secara aktif, terlibat dalam berbagai aktivitas untuk merebut kembali subjektivitas. Secara ideal, manusia aktivis tidak bergantung pada aturan-aturan dan kebutuhan material yang bersifat historis. Manusia aktivis memproduksi sejarahnya sendiri melalui kreasi kultural dan perjuangan sosial.

3. Manusia Multikulturalis

Multikulturalisme adalah keyakinan bahwa relasi pluralitas yang di dalamnya terdapat problem minoritas vs mayoritas, harus dibangun berdasarkan pengakuan atas persamaan, kesetaraan, dan keadilan.

Dalam konteks Indonesia, menurut Yasraf Amir Piliang, posmodernisme minimalis cenderung mendapat respons, sehingga manusia ironi, skizofrenik, dan fatalis lebih hidup. Pluralisme yang hidup hanyalah pseudo-pluralism, yang justru menghidupkan totalitarianisme kecil.